True Story : Memburu Sebuah Kebahagiaan

“Tahukah kamu, saya kena kanker karena saya terlalu perfeksionis”

Saya tertegun sesaat. Bu Ratih , bukan nama sebenarnya, memulai pembicaraannya. Mata Bu Ratih sesekali melirik ke atas seperti mencoba mengingat-ingat kejadian waktu itu. Saya masih penasaran, bagian mana dari ‘perfeksionis’ yang bisa membuat beliau mengambil kesimpulan bahwa itu adalah penyebab kanker di leher rahimnya?

Bu Ratih menegakkan posisi duduknya. Saya menaruh cangkir biru muda berisi teh di meja sambil melirik istri saya yang sedang memangku GG, putra bungsu kami yang sudah mulai mengantuk.

“Kenapa bisa begitu bu?”

“Ya, kamu tahu suami saya kan? Hidupnya dia dedikasikan untuk perusahaan. Bahkan anaknyapun tak pernah dia sentuh”

Tentunya Bu Ratih bukan ingin menyalahkan suaminya dalam hal ini. Sama sekali tidak. Saya bisa merasakannya. Pak Andri, suaminya, adalah seorang workaholic. Posisinya cukup tinggi di perusahaannya. Bu Ratih menceritakan bahwa suaminya seorang pekerja keras, yang Pak Andri tahu hanyalah bekerja dan bekerja. Dia tidak ingin mendengar anaknya menangis, dia tidak ingin tahu dimana mereka mau pindah rumah, dan dia pun sampai tidak ingin tahu bagaimana dan dimana anaknya akan sekolah. Semua urusan itu di tangan Bu Ratih. Bahkan pernah untuk mengurus kontainer untuk memindahkan motor sport Pak Andri dari rumah mereka dulu di Denpasar ke Jakartapun menjadi ‘urusan’ Bu Ratih.

Sebagai seorang istri yang menyandang sifat perfeksionis itu, tugas dari sang suamipun dikerjakannya dengan sangat rapi dan ikhlas. Ditambah lagi bahwa Bu Ratih juga seorang wanita pekerja di sebuah perusahaan BUMN yang cukup besar dengan posisi manajerial, walau tak setinggi suaminya. Dan di balik segala kesempurnaan itu tersemat sebuah kondisi yang secara tak sadar dia alami. Ya, stres.

Di sisi lain, keperfeksionisan Bu Ratih membuat dia merasa ingin membuat orang lain mengikuti cara yang dia mau. Ekpektasinya terlalu tinggi pada segala orang lain dan keadaan. Termasuk ekspektasinya pada suaminya sendiri.

“Harusnya dia gini dong”
“Harusnya si anu jangan gitu dong”

Bu Ratih melanjutkan ceritanya.
Dia mengingat banyak sekali keharusan waktu itu
Dia mengingat banyak sekali tuntutan dalam dirinya waktu itu

Singkat cerita, setelah dia menjalani kemoterapi dan pengangkatan rahim, kondisinya berangsur membaik. Dokter yang juga sahabatnya sendiri banyak bercerita tentang bagaimana Bu Ratih perlu untuk lebih mengendalikan tingkat stresnya. Bu Ratih sudah pernah berada dalam kondisi kepasrahan hidup yang tinggi. Wasiat-wasiat sudah sempat dia siapkan ketika itu. Nafas yang masih dia hela saat ini menurutnya adalah sebuah karunia dan kesempatan kedua yang diberikan Tuhan untuk bersikap dan merespon lebih baik.

“Bu, apakah ibu sudah pikirkan kembali keputusan ibu hari ini. Sudah sekian lama ibu rintis karir ibu di perusahaan besar ini. Rekan seangkatan ibu bahkan sudah ada yang menjabat di posisi puncak. Saya yakin sebentar lagi ibu akan juga berada di posisi itu.”

Bu Ratih diam sesaat, dia resapi perkataan atasan langsung yang mencoba menahan keputusannya untuk berhenti dari karir di perusahaan yang telah digelutinya lebih dari 20 tahun.

Pak…”, Bu Ratih berhenti sejenak, “… Saya yakin, untuk mencari pengganti saya di kantor ini, Bapak pasti bisa melakukannya. Banyak orang yang mau dan sanggup melakukan apa yang saya lakukan di perusahaan ini. Tapi, apakah Bapak bisa mencarikan pengganti posisi saya sebagai ibu bagi anak-anak saya?

Akhirnya Bu Ratih memutuskan untuk resign karena berpikir apa yang dia cari dalam hidup. Saat ini dia aktif di kegiatan-kegiatan sosial. Kegiatan yang dapat dijalankan secara fleksibel tanpa perlu terikat oleh banyak simpul keharusan.

Dia teringat kata sahabatnya bahwa sakitnya itu disebabkan oleh faktor pikiran dan stres. Mulai saat itu Bu Ratih memutuskan untuk relatif lebih EGP (emang gue pikirin), ya maksudnya bukan sampai pada level cuek bebek juga sih, melainkan dia berusaha untuk dapat menurunkan level harapannya pada orang lain dan keadaan.

Pertanyaannya…..
Apakah suaminya serta merta berubah?
Tidak! Tapi Bu Ratih sudah bisa memilih untuk lebih menerima sebuah kondisi apa adanya.

Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Bu Ratih, saya berpandang-pandangan dengan istri saya sambil sesekali tersenyum dan meringis. Dia tahu pasti kalau saya punya sedikit sifat perfeksionis Bu Ratih. Gak bisa lihat sesuatu yang sedikit saja tidak pada tempatnya pasti sudah stres dan komentar. Dari masalah sandal di mushola kantor yang seringkali berantakan sampai masalah kamar anak-anak yang sering kali berantakan. Dan Bu Ratih memberi kami hadiah sebuah buku inspiratif yang memberikan pandangan baru tentang stress dan manajemen pengasuhan : Kesebelasan Generasi Halilintar yang bertandatangan Pak Halilintar sendiri.

image

“Aduuuh, mbok ya dirapikan to. Apa sih susahnya merapikan ini. Bla..bla..bla”

Hehe… gue banget sih. Dan pastinya, tulisan ini sama sekali tidak membebaskan Anda untuk ‘berantakan’ di depan saya, jangan coba-coba ya, melainkan ini sebuah nasehat untuk diri saya sendiri untuk lebih menerima sebuah kondisi dengan respon yang lebih baik dan proporsional.

Best Regards,
The World of Gusnul Pribadi

Leave a comment